persengketaan indonesia-malaysia perihal sipadan ligitan

“Sengketa Wilayah Perbatasan Perairan Sipadan Ligitan
Dan Dampak Terhadap Hubungan Bilateral Indonesia-Malaysia”


BAB I
       
        Latar Belakang

            Dinamika perpolitikan Indonesia akan menjadi sangat kompleks bila permasalahan dalam negeri negara khususnnya Indonesia tidak bisa mencari solusi yang cerdas untuk segera menyelesaikan setiap permasalahan baik itu permasalahan birokrasi, ekonomi yang tidak stabil, pembangunan yang berjalan melambat, kasus criminal yang didera para elit politik, fenomena alam seperti gempa bumi, system pertahanan yang tidak mumpuni, dan tentunya yang saya bahas disini adalah masalah perbatasan Indonesia dengan negara-negara Asia khususnya Malaysia yang notabene Malaysia merupakan anggota ASEAN ( Association of South East Asian Nations ). ASEAN yang beranggotakan sepuluh negara yaitu Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Thailand, Vietnam, Myanmar, Singapura, dan Laos. Secara territorial Indonesia berbatasan dengan Malaysia di sebelah Utara yang berdekatan dengan P. Kalimantan, sebelah selatan berbatasan dengan Timor Leste dan seterusnya.
            Kualitas pertahanan Indonesia menjadi ekstensi yang patut untuk dijadikan sebagai acuan bahwa negara itu aman dari ancaman yang datang dari luar negara. Dengan asumsi semakin baik dan semakin kuat pertahanan suatu negara maka akan menguntungkan di berbagai segi kehidupan. Hal ini akan menjadi sangat mutlak dan tidak bisa ditawar lagi bilamana ternyata ada isu penyelundupan barang/jasa yang berimplikasi tidak membayar pajak terhadap negara dan tentunya ini akan merugikan bangsa Indonesia. Disini saya membahas perbatasan yang secara territorial bergabung dengan ASEAN baik dari segi lautan, udara dan daratan. Seperti yang terjadi pada kasus pulau Sipadan dan Ligitan yang memperebutkan Indonesia dan Malaysia. Kasus ini terus berkembang dan tidak mencapai titik temu hingga sidang di Mahkamah Internasional yang pada akhirnya dimenangkan oleh Malaysia. Fenomena sengketa perbatasan ini tidak berhenti disitu, Pulau Ambalat juga sempat memanas hingga pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengamankan area itu dari serangan negara luar atau penyusupan dengan cara menambah personel dan angkatan bersenjatanya. Menjaga kedaulatan negara adalah kuasa penuh dari pemerintah untuk mempertahankan wilayah teritorialnya sesuai dengan amanat undang-undang dasar 1945 paragraf empat yang berisi :
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada pancasila”
Setiap paragraf mempunyai makna yang berbeda bertujuan untuk memaksimalkan peran pemerintah dalam segala bidang. Di dalam paragraf empat bisa ditarik kesimpulan bahwa negara harus menjamin keamanan setiap warga negara dan seluruh tumpah darah Indonesia dari segala macam bentuk ancaman[1].



















PEMBAHASAN

            Indonesia yang memiliki kekayaan alam sangat berlimpah dan memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan penduduk sekitar 230juta sangat berpotensi keamanan perihal kedaulatan akan terancam. Fenomena ini lebih banyak terjadi di pulau-pulau terluar yang berpotensi di ambil negara lain untuk diambil kekayaannya. Salah satu pengalaman pahit yang pernah di tanggung Indonesia adalah diambilnya pulau Sipadan dan Ligitan yang pada sebelumnya pulau itu milik Indonesia. Karena factor minimnya pemeliharaan dan minimnya pembangunan yang menyebabkan negara Malaysia secara soft power melakukan perawatan dan pembangunan. Karena kasus ini Indonesia menyelesaika kasus ke Mahkamah Internasional dan pada akhirnya Mahkamah Internasional memberikan kemenangan kepada Malaysia. Hal ini sudah menjadi cukup bukti bahwa keamanan Indonesia dirasa kurang atau jauh dari cukup, dari segi peralatan tempur dan personel yang dipersiapkan.
            Salah satu studi kasus pertama yang saya angkat yaitu kasus Sipadan dan Ligitan, bagaimana proses kebijakan itu terjadi dan bagaimana penanganan yang dilakukan oleh pemerintah republic Indonesia pada saat itu yang terjadi pada rezim Megawati Soekarno Putri. Konflik yang terjadi sekitar tahun 1979-an ini bermula ketika Malaysia menerbitkan peta 21 Desember 1979 yang mencantumkan pulau Sipadan dan Ligitan masuk dalam teritorialnya. Tegas Indonesia pun mengirimkan nota protes yang diwakili menteri luar negeri pada saat itu adalah Muchtar Kusuma yang menjabat dari tahun 1978-1988.
Ruang public menjadi tidak kondusif akibat tidak disepakatinya sebuah perundingan yang telah digelar oleh kedua negara tersebut. Menurut UNCLOS atau United Nation Convention on Law of the Sea, hukum laut internasional telah diratifikasi oleh 60 negara termasuk Indonesia dan Malaysia konsep negara kepulauan telah diakui dalam konvensi tersebut, berarti Indonesia sebagai negara kepulauan dapat menentukan laut teritorial diukur 12 mil dan ZEE 200 mil dari garis pangkal (straight base line)[2]. Sedangkan Malaysia sebagai negara kontinental diukur dari garis pantai (coastal line). Hal ini mengakibatkan penentuan batas wilayah RI-Malaysia semakin ketat dan rawan terjadi konflik. Harus ada kesepahaman antara mandate PBB tentang hukum laut internasional yang sudah diratifikasi untuk dipatuhi secara bersama untuk mengurangi atau meminimalisasi percikan konflik yang nantinya bisa diantisipasi. Dalam hal ini ASEAN yang telah berdiri sejak 1967 tidak bisa bertindak lebih banyak karena memang eksistensi ASEAN tidak se progress dengan Eropa atau PBB.
Dalam waktu kurun waktu sekitar 10 tahun sekitar tahun 1989 Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”, karena masing-masing perwakilan mempunyai kepentingan dan kukuh dengan segala bukti yang telah dikumpulkan. Masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad. Perwakilan kedua negara ini lantas merencanakan untuk menyelenggarakan Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan.
            Pada tahun 1999 kasus ini resmi dibawa ke ICJ ‘international court of justice’. Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda[3]. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun[4]. Cukup banyak energi yang telah dikeluarkan secara psikologis dan secara materi menghabiskan sebesar 16M untuk pembiayaan lawyer. Karena Indonesia kalah dalam pembinaan atas pulau itu pada hasilnya dimenangkan oleh pihak Malaysia.
            Pada tahun 2002 Sipadan Ligitan secara resmi milik kedaulatan Malaysia. Secara sosial civil society belum terbentuk sempurna atau masih dalam keadaan bright karena pada awal terjadinya sengketa terjadi pada tahun 1979 yang notabene dipimpin oleh Soeharto, dengan jiwa otoriternya Soeharto mampu menekan para mahasiswa dan para kaum oposisi untuk tetap sejalan dengan ideology Soeharto yang berakhir pada tahun 1998.
            Lepasnya Sipadan–Ligitan tidak lepas dari kenyataan betapa lemahnya Indonesia dari sisi administratif, di mana pemerintah tidak berusaha mencari bukti-bukti sejarah, misalnya dari keluarga Sultan Bulungan yang ada di Tanjung Selor, yang pernah menguasai kedua pulau tersebut. Di samping itu, Indonesia lemah dari sisi eksistensi.

            Meski terdapat isu-isu mengenai persengketaan perbatasan, hubungan bilateral antara RI-Malaysia banyak diwarnai dengan kerjasama, meliputi berbagai bidang baik ekonomi, riset teknologi, budaya, pendidikan, pertahanan dan keamanan dan sebagainya. Sejak konfrontasi di era Soekarno, pemerintah RI dan Malaysia berusaha mempertahankan keharmonisan hubungan negara serumpun disela-sela permasalahan yang ada. Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pun terdapat isu masalah perbatasan yang sama dengan Sipadan Ligitan yaitu persengketaan Pulau Ambalat, namun untuk permasalahan ini diselesaikan secara diplomatic dengan kesepakatan untuk diselesaikan secara damai dalam kerangka antar negara melalui pembentukan tim teknis. Berangkat dari berbagai kerjasama dan penekanan prioritas kepada hubungan bilateral yang baik, dapat diperoleh sebuah perkiraan sifat hubungan antara NKRI dengan Federasi Malaysia untuk beberapa masa ke depan. Prospek hubungan RI dan Malaysia tidak akan begitu kontras dari kondisi hubungan saat ini. Hubungan baik selama ini tetap terjalin walau tumpang tindih klaim blok Ambalat sempat meruncingkan suasana hubungan bilateral kedua negara. Sejauh ini dinamika hubungan kedua negara tidak mempengaruhi kawasan Asia Tenggara (regional). Tampak dari pengesampingan ASEAN sebagai wadah penyelesaian sengketa karena ambalat akan menjadi agenda tim teknis kedua negara saja, antara Indonesia dan Malaysia
            Disini dapat disimpulkan beberapa opsi yaitu yang pertama permasalahan bilateral menyangkut wilayah territorial berbasis kedaulatan diselesaikan secara diplomasi antar negara, dari beberapa data yang telah dikumpulkan oleh penulis, tidak mendapati peran ASEAN dalam permasalahan ini secara komprehensif.
            Dampak bagi Indonesia paska sengketa Sipadan Ligitan tidak mempengaruhi stabilitas nasional secara signifikan, namun dipandang secara civil society yang berperan dalam menentukan sikap dan kebijakan pemerintah hal yang sangat berbeda ditunjukkan pada era Soeharto dan era SBY, pada saat Soeharto civil society tidak bergerak bebas karena kepemimpinan yang otoriternya, namun dengan demokratisasi yang diterapkan di Indonesia membuat civil society bergerak bebas dengan tuntutan yang mereka bawa pada era SBY. Pergerakan civil society pada era SBY lebih agresif yang mempublikasikan bahwa kedaulatan harga mati. Pengaruh yang tidak begitu signifikan karena dilihat dari beberapa sudut pandang, sudut pandang yang pertama mengacu pada aspek ekonomi Salah satu aspek yang harus dilihat adalah keberadaan 2 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia. Suatu angka yang dibilang lumayan besar yang bisa mengangkat perekonomian nasional dan hal ini pun adalah jumlah tenaga kerja Indonesia yang terbesar di luar negeri. Tentu tenaga kerja membawa keuntungan bersama, baik Indonesia dan Malaysia. Tak hanya ituSelain itu ada 13.000 pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia dan 6.000 pelajar Malaysia yang belajar di Indonesia. Selain itu, jumlah wisatawan asal Malaysia adalah ketiga terbesar dengan jumlah 1,18 juta orang dari total 6,3 juta wisatawan. Investasi Malaysia di Indonesia dalam lima tahun terakhir mencapai 285 proyek dengan nilai Rp 1,2 miliar dollar AS. Investasi Indonesia di Malaysia mencapai 534 juta dollar AS. Perdagangan kedua negara mencapai 11,4 miliar dollar AS tahun 2009. Ini menunjukkan hubungan ekonomi kedua negara sangat kuat[5].
            Menurut data history yang diambil dari World Bank, Indonesia dan Malaysia memiliki berbagai kesamaan dan perbedaan yang tidak begitu signifikan dalam perkembangan ekonominya seperti yang tertera pada tabel di bawah :
Hasil Bersih Industri Manufaktur[6]
Negara manufaktur dalam PDB
Peranan Industri tahun 1970 (%)
Total tahun 1970 (milyar dollar AS)
Perkepala tahun 1970 (dollar AS)
Laju Pertumbuhan Rata-rata Hasil Bersih dalam % (1960-1976)
Indonesia
9
1671
12,4
7,6
Malaysia
17
1103
86,9
12,0
Sumber : World bank, Indonesia, selected issues of industrial development and trade strategy, Annex I: The structure of the Manufacturing Sector, East Asia and Pasific Regional Office, 1981, Juli, hal 21 (tabel B)

            Sudut pandang kedua yaitu dilihat dari budaya Indonesia dan Malaysia memiliki hubungan sejarah, budaya, dan kekerabatan yang sangat erat dan mungkin yang paling erat dibanding negara-negara lain dan sudah terjalin selam ratusan tahun. Selanjutnya, hubungan Indonesia dan Malaysia adalah pilar penting dalam keluarga besar ASEAN. "ASEAN bisa tumbuh pesat selama empat dekade terakhir ini, antara lain karena kokohnya fondasi hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia. Menurut pendapat saya SBY tidak lepas dari peran menciptakan image dan citra yang positif bagi dunia, untuk menarik peminat investasi demi mewujudkan national interest[7].
            Pendekatan yang saya gunakan yaitu dengan menggunakan pendekatan konsep realis, karena saya berpendapat bahwa di era SBY militer lebih dominan dikerahkan untuk menjaga stabilitas kedaulatan nasional. Selanjutnya keterangan saya diperkuat dengan pendapat John J. Mearsheimer yang berasumsi bahwa kekuatan besar merupakan actor utama dalam politik dunia dan mereka beroperasi dalam sebuah system anarkis. Berkaitan dengan Indonesia maka hal ini tentu sangat menjadi pertimbangan mengingat negara kepulauan harus memiliki kekuatan besar secara militer. Asumsi kedua adalah bahwa semua negara memiliki beberapa kemampuan militer yang bersifat ofensif. Setiap negara, dengan kata lain memiliki kekuatan untuk menimbulkan kerugian atau ancaman dengan beberapa negara anggotanya. Tentu saja kemampuan untuk melakukan hal itu bervariasi antara negara-negara dan untuk setiap negara-negara dapat berubah dari waktu ke waktu[8].















KESIMPULAN

            Kesimpulan yang dapat saya publikasikan adalah dari beberapa informasi menyebutkan fenomena sengketa perebutan Sipadan dan Ligitan tidak berdampak begitu luas karena factor civil society pada tahun 1979 atau pada era Soeharto sangat rendah pergerakkanya. Karena factor inilah pemerintah seakan lemah dalam berdiplomasi karena tidak ada tuntutan dari masyarakat luas yang menyebabkan pemerintah hanya bisa mengambil keputusan status quo dalam perebutan wilayah itu, namun tidak dapat dipungkiri angkatan bersenjata di kerahkan pada saat itu, hanya namun karena factor kebijakan masing-masing negara yang menekankan tidak menyerang dan hanya menggunakan konsep membela diri maka konflik dapat meredam, meski sempat terjadi insiden saling serempet pada kapal patroli tempur milik masing-masing negara yang berimbas memunculkan ketegangan di daerah konflik.
            Hubungan diplomatic antar negara ASEAN ini adalah tidak hanya sekali dan mungkin juga tidak terjadi di negara Indonesia saja, secara pemetaan negara Asia Tenggara adalah negara-negara yang dominan negara kepulauan yang sangat rentan terhadap konflik sengketa. Dengan mengatas namakan ASEAN humanity Indonesia ingin mewujudkan ASEAN yang berasaskan perdamaian dan mengedepankan diplomasi dalam penyelesaian masalah. Indonesia dan Malaysia sendiri juga mempunyai sejarah yang panjang akan budayanya, dengan konsep ekonomi akumulasi berjalan baik maka kebijakan akan perang menjadi pilihan yang tidak solutif malah problem yang dihadapi akan semakin kompleks.


[1] Mahasiswa FISIP jurusan Hubungan Internasional
[3] Co agent menurut pandangan saya disini adalah mengoptimalisasi peran individu sebagai bagian dari instansi yang bertujuan untuk melakukan diplomasi dan lobi terhadap ICJ untuk memberikan bayangan tentang isu yang berlangsung.
[6] World bank, Indonesia, selected issues of industrial development and trade strategy, Annex I: The structure of the Manufacturing Sector, East Asia and Pasific Regional Office, 1981, Juli, hal 21 (tabel B)
[8] John J. Mearsheimer, Structural Realism Chapter 4 diambil dari http://www.oup.com/uk/orc/bin/9780199298334/dunne_chap04.pdf diakses tanggal 11 April 2011

Comments

Popular posts from this blog

microcosmic theories of violent conflict

Pengalaman pertama KTA